Mazhab Austria

Air dan udara memiliki nilai penukaran yang rendah, padahal air dan udara memiliki nilai kegunaan yang tinggi. Sebuah lukisan, patung, dan anggur yang tidak memiliki kegunaan yang tinggi berharga sangat mahal. Seorang tokoh klasik, Richardo, sampai pada akhir hayatnya masih belum memahami kenapa anggur yang disimpan dalam gudang selama 3 atau 4 hari, atau mengapa pohon oak yang nilainya tak lebih dari 2 sen sebelum diolah, tetapi kemudian muncul menjadi senilai 100 pound.
Sekitar tahun 1870 timbul hampir bersamaan di Austria, Perancis dan Inggris suatu ”ajaran nilai baru” yang dikemukakan oleh Karl Menger, Leon Walras dan W. Stenley Jevons. Teori baru ini menempatkan konsumen sebagai obyek penilai terakhir di pusat perhatian ekonomi. Nilai sesuatu barang harus dijelaskan bahwa sesuatu barang mempunyai kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan. Dengan perkataan lain, suatu barang mempunyai nilai karena barang itu memberikan nilai guna bagi subyek penilai.
Nilai guna bagi seseorang dengan seorang yang lain dapat berbeda. Sesorang dapat saja mengatakan bahwa sebuah lukisan tidak berharga karena dia tidak menyukai seni, sebaliknya bagi seorang pecinta seni, lukisan Picasso sanggup dia bayar dengan harga mahal. Kegunaan barang juga dipengaruhi unsur subyektifitas. Penduduk Jakarta rela membayar air bersih lebih mahal daripada harga yang akan dibayar oleh penduduk di daerah Wonosobo.
Nilai penukar menurut mazhab Austria harus dituangkan dari nilai pemakaian yang subyektif, jadi dari arti barang itu untuk kesejahteraan subyek ekonomi. Selain dari pada nilai pemakaian subyektif dan obyektif ada lagi pengertian nilai penukar obyektif dan subyektif. Nilai penukar obyektif adalah sebagai pengertian untuk menyatakan harga dalam lalu lintas pertukaran, sedang nilai penukar subyektif menyatakan arti barang itu dalam pertukaran bagi kesejahteraan subyek. Jadi ajaran nilai subyektif menurut mazhab Austria adalah hubungan antara subyek ekonomi dan barang. Bagi seorang direktur sebuah perusahaan bonafide, pena montblanc yang berharga jutaan rela dibayatnya karena menurutnya berguna untuk menaikkan gengsinya, lain halnya bagi seorang mahasiswa arsitektur, pena rotring baginya lebih berguna dan rela dia bayar dengan harga yang pantas menurutnya.
Mazhab Austria telah memecahkan soal antinomi nilai, yaitu paradoks ekonomi yang tak terpecahkan oleh kaum klasik dan yang mengatakan bahwa barang yang mempunyai nilai pemakaian yang terbesar seperti air dan hawa justru mempunyai nilai penukaran yang paling sedikit. Dalam hubungan ini, menurut mazhab Austria, nilai sesuatu barang harus diterangkan bahwa sampai seberapa jauh barang yang bersangkutan mempunyai kesanggupan untuk memenuhi kebutuhan.
Untuk memecahkan soal antinomi nilai ini, Menger mengemukakan pembedaan antara kegunaan jumlah seluruhnya suatu barang dan kegunaan satuan tertentu yang ditambahkan atau dikurangkan dari persediaan yang ada. Dalam menilai barang maka harus diperhatikan tidak hanya kegunaanya, tetapi juga harus dipertimbangkan tentang kelangkaanya (scarcity).
Gossen mengemukakan hukum kejenuhan (law of diminishing utility). Selanjutnya Menger berusaha menjawab soal bagaimana konsumen dalam harga tertentu daripada barang-barang akan membagi pendapatannya atas berbagai kategori kebutuhan. Contohnya, seorang konsumen dari penghasilannya akan mempergunakan empat satuan guna untuk kebutuhan makanannya, tiga satuan guna untuk perumahan, dua satuan guna untuk pakaian, dan satu satuan guna untuk sepatu.
Von Bohm Bawerk menunjukkan adanya persaingan pada kedua belah pihak antara penjual dan pembeli yang selanjutnya menyatakan ada 4 faktor yang mempengaruhi tingginya harga:
1. Jumlah barang-barang yang dikehendaki
2. Tinggi angka-angka taksiran di pihak para pembeli.
3. Jumlah barang yang ditawarkan.
4. Tinggi angka-angka taksiran di pihak para penjual
Mazhab Austria menganalisis tentang pembentukan harga diikuti oleh teori pembagian hasil masyarakat yang diketengahkan oleh Menger. Von Bohm Bawerk dan von Wieser yakin bagaimana membagi pendapatan masyarakat kepada faktor-faktor produksi yang ikut serta dalam proses produksi. Harga-harga faktor produksi merupakan nilai turunan daripada final product-nya.
Von Thunen menyelidiki tentang terjadinya hukum kelebihan hasil yang semakin berkurang. Menurut hukum ini penambahan salah satu faktor produksi dengan faktor produksi yang lain tetap, dalam satu proses produksi, mengakibatkan penambahan hasil produksi yang bilamana dilaksanakan terus menerus maka tambahan hasilnya semakin berkurang (law of diminishing return).
Teori bunga von Bohm Bawerk menyatakan bahwa bunga adalah agio tiap satuan waktu daripada nilai yang diberikan kepada pemakaian sekarang, atas pemakaian kelak sesuatu barang. Ada 3 alasan mengapa subyek ekonomi biasanya memberi nilai lebih tinggi kepada barang-barang sekarang daripada kepada barang-barang kelak yang sama macamnya:
1. Perbedaan dalam perbandingan antara kebutuhan dan alat-alat pemuas kebutuhan dalam beberapa waktu, orang menghargai lebih tinggi yang sekarang daripada yang akan datang. Bunga adalah sebagian dari harga yang dibayar orang untuk barang-barang sekarang.
2. Besarnya bunga merupakan titik keseimbangan di pasaran tempat penukaran barang sekarang dan kelak.
3. Kedudukan bunga ditetapkan oleh keuntungan yang menjadi bagian pemodal dalam keadaan keseimbangan.
K. Wicksell menyatakan besarnya bunga yang biasa (natural rate of interest) adalah sama dengan bunga yang terjadi dalam suatu masyarakat tanpa uang pada titik keseimbangan permintaan akan barang-barang modal dan penawaran penghematan-penghematan, keduanya dihitung dalam barang-barang, sebagai penukaran barang-barang sekarang dengan barang-barang masa kelak. Richard menyatakan “the real rate of interest is not regulated by the rate at which the bank will lend, but by the rate of profits which can be made by the employment of capital.”

Yohan Naftali
http://yohanli.com

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.